Pendidikan Karakter Peserta Didik Untuk Merenda Kesuksesan
"Barangsiapa yang hendak
menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmu. Barangsiapa menginginkan
akhirat, hendaklah ia menguasai ilmu. Dan barang siapa yang menginginkan
keduanya (dunia dan akhirat), hendaklah ia menguasai ilmu."
(HR. Ahmad)
Fenomena
digitalisasi di era revolusi industri 4.0 menjadikan generasi muda terperosok
ke dalam nilai-nilai budaya yang tidak sesuai dengan identitas lokal.
Berita-berita hoax yang mengandung unsur radikal, ekstrem,
dan intoleran semakin marak dikemas dalam platform digital. Kasus kriminalitas semakin
meningkat di kalangan masyarakat bawah, menengah maupun para elit baik dalam
ranah sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini menunjukkan bahwa adanya degradasi
moral yang cukup kompleks yang harus segera dicari solusi yang tepat. Selain
itu, terdapat kasus kekerasan para pelajar yang bersifat kelompok (tawuran)
atau yang bersifat individu, tindakan asusila free sex (seks bebas), peredaran
narkoba, foto dan video porno. Permasalahan pendidikan yang terkesan kosong
dari nilai dan etika moral.
Pendidikan memposisikan manusia sebagai makhluk sosial untuk
berinteraksi satu sama lain dan menjadikannya tempat yang paling menyenangkan
bagi peserta didik untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi yang
dimiliki sebagai bekal untuk kehidupan di masyarakat. Pendidikan merupakan
suatu wadah untuk melahirkan manusia yang berpengetahuan. Pendidikan memberikan
andil besar bagi kemajuan masyarakat, bangsa dan bernegara.
Taksonomi Bloom mengorientasikan agar
pembelajaran yang dilakukan dapat menembus tiga wilayah yakni kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Pembelajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan
memiliki nilai lebih dalam membentuk karakter peserta didik. Dunia pendidikan
tidak terpisah dari kenyataan hidup yang sebenarnya yang dialami sehari-hari
oleh peserta didik. Pendidikan tidak
cukup dengan sekedar mengejar masalah intelektualitas. Berbagai potensi peserta
didik juga harus mendapat perhatian agar berkembang secara optimal. Dalam
pembelajaran mengharuskan peserta didik mampu mencapai kompetensi-kompetensi
yang telah ditentukan. Ketika mencapai kompetensi tersebut, maka peserta didik
telah menguasai materi pelajaran dan berhasil dalam pembelajaran.
Kurikulum berbasis multikultural yang ada
di Indonesia menegaskan bahwa kondisi multikultural di Indonesia lebih kompleks
baik vertikal maupun horisontal, sehingga menjadi langkah strategis di ruang
pendidikan untuk merangkai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Mengingat
kondisi bangsa Indonesia sekarang ini, dengan sedikit pemantik emosi, kerusuhan
berbasis SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) mudah sekali menyebar.
Kurikulum pendidikan yang berbasis multikultural jika diimplementasikan di lembaga
pendidikan, maka ada beberapa hal yang secara langsung berhubungan dengan
beberapa aspek pembelajaran.
Penekanan terhadap peserta didik sangat
diperlukan baik secara kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk memberikan
suatu perubahan. Kognitif menjadi aspek pembelajaran paling penting dari masa
ke masa. Parameter keberhasilan suatu pembelajaran ada di wilayah kognitif. Padahal
dalam kehidupan, tidak ada jaminan bahwa ranah kognitif akan mampu
menyelesaikan permasalahan teknis yang muncul secara tiba-tiba. Afektif
berhubungan dengan emosi yang terkait dengan suka, benci, simpati, antipasti,
dan lain sebagainya. Ranah afektif mencakup tujuan yang berhubungan dengan
sikap, nilai, perasaan, dan minat. Suasana di kelas akan menghadirkan
pengalaman tersendiri bagi peserta didik yang berlatar belakang berbeda dalam menerima
peserta didik lain, budaya lain, dan agama lain. Peserta didik akan mudah
beradaptasi dan menempatkan diri di lingkungan manapun, karena peserta didik
sudah tidak mengalami gejala penolakan adanya keragaman hidup.
Psikomotorik berhubungan dengan aktifitas
fisik yang berkaitan dengan proses mental peserta didik. Kecakapan psikomotorik
tidak terlepas dari kecakapan kognitif dan afektif, peserta didik yang memiliki
nilai agama baik akan lebih rajin dalam beribadah, dan tidak segan memberi
pertolongan pada peserta didik yang memerlukan. Hal ini disebabkan peserta
didik beranggapan bahwa memberi bantuan adalah sebuah kebajikan dan perasaan
yang berkaitan dengan kebajikan itu berasal dari pemahaman terhadap materi
pelajaran yang diterima dari gurunya.
Kurikulum sebagai pengalaman hidup
menunjukkan pengertian bahwa kegiatan-kegiatan kurikulum tidak terbatas dalam
ruang kelas saja, melainkan mencakup kegiatan-kegiatan di luar kelas. Semua
kegiatan yang memberikan pengalaman terhadap peserta didik pada hakikatnya
adalah kurikulum. Pengalaman keragaman dan kondisi multikultural sudah ada
sejak masa kerajaan-kerajaan, seperti pada penyatuan paham keagamaan antara
Budha dan Hindu, menerima bangsa lain dalam jalur pelayaran, sampai kerja sama
dengan bangsa lain. Dewasa ini, bangsa Indonesia bukan lagi sebagai masyarakat
paguyuban, tetapi telah bergeser menjadi masyarakat patembayan. Masyarakat
berhimpun karena adanya kepentingan bersama. Masyarakat yang bergerak karena
adanya tujuan yang sama baik di bidang politik, ekonomi, dan sebagainya. Hal
ini yang seringkali menimbulkan ketegangan karena kepentingan-kepentingan yang
saling berbenturan.
Paradigma profetik dalam memaknai pendidik perlu digali lebih
dalam agar proses pendidikan benar-benar mencapai esensinya, yaitu proses
memanusiakan manusia menuju manusia seutuhnya. Misi utama pendidikan adalah
menanamkan kepada peserta didik akhlak yang mulia serta budi pekerti. Pendidik
profetik merupakan pendidik yang memiliki misi seperti para nabi dalam
melaksanakan tugas kenabiannya, sehingga pendidik diwajibkan meneladani dan
memiliki empat sifat Nabi atau Rasul antara lain: jujur (siddiq), dapat
dipercaya (amanah), menyampaikan (tabligh), cerdas (fatonah), serta meneladani
kisah para Nabi.
Peserta didik dalam paradigma pendidikan profetik sangat
berkaitan erat dengan pandangan al-Qur'an mengenai hakekat manusia baik jasmani
maupun rohani. Inti orientasi pendidikan Islam bermuara pada misi profetik yang
membentuk jiwa muslim yang sholeh yang dapat menyatukan hubungan hablumminannalah
dan hablumminannas secara komprehensif. Nilai-nilai profetik yang
perlu dimiliki oleh peserta didik antara lain: segala aktifitas belajar
diniatkan sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bersikap zuhud,
memiliki sikap rendah hati atau tawadhu dan memiliki karakter yang mulia.
Nilai pendidikan multikultural sesungguhnya sangat menekankan
pada sikap untuk saling memahami, menghargai, menghormati, adil, toleransi
serta mengedepankan mussyawarah. Namun dalam realitasnya masih banyak ditemukan
adanya praktek intoleransi dan disharmonisasi di tengah masyarakat yang
disebabkan karena perbedaan baik dalam ras, suku, budaya, bahasa bahkan agama.
Adanya penerapan politik monokulturalisme di Indonesia ditengarai menjadi
faktor penyebab munculnya problem multi etnik ini, praktek politik
monokuturalisme ini merambah pada semua lini kehidupan termasuk di dalamnya
bidang pendidikan.
Memasuki abad 21 gelombang globalisasi dirasakan semakin kuat
dan terbuka. Kemajuan teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran
baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di
tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan
kehidupan dengan negara lain. Masyarakat luas mengharapkan adanya perubahan
dalam hal usaha peningkatan mutu atau mutu pendidikan. Oleh karena itu, sebagai
warga masyarakat Indonesia seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia
yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menyeimbangkan
ilmu pengetahuan (iptek) dengan ilmu agama (imtak), sehingga individu memiliki
kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan mampu bertindak sesuai
potensi dan kesadarannya tersebut. Pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah di
antaranya religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,
rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat dan komunikasi, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan,
peduli sosial, dan bertanggung jawab,
Menurut Muchlas dan Haryanto (2011) karakter merupakan nilai dasar yang
membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun
karena pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta
diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga
dapat dipahami bahwa karakter merupakan nilai-nilai moral individu yang
semestinya dihadirkan dalam berbagai dimensi perilaku baik sifatnya hablumminallah
dan hablumminannas.
Dalam dunia pendidikan, karakter tidak dapat terpisahkan karena untuk
mendapatkan output yang baik haruslah melalui proses dan input
yang baik. Artinya, jika pendidikan tidak menanamkan nilai-nilai karakter dalam
prosesnya maka sebaik apapun tujuan pendidikan tentu tidak akan tercapai
sebagaimana yang diharapkan. Maka pendidikan karakter merupakan solusi untuk
mendidik dan menciptakan manusia Indonesia yang berkepribadian positif sehingga
mampu membangun Indonesia yang lebih baik dan maju di berbagai aspek.
Peserta didik yang merupakan generasi Z, sebagai guru di sekolah harus
memanfaatkan teknologi informasi sebagai media pembelajaran sehingga peserta
didik akan produktif dalam teknologi. Akan tetapi, guru harus tetap menjaga
nilai karakter yang dimiliki peserta didik dengan cara pengawasan terhadap
penggunaan smartphone dalam pembelajaran. Peserta didik cenderung aktif di
media sosial, sehingga guru harus lebih bijak memanfaatkan sosial media sebagai
tempat belajar dan menjaga agar tidak melenceng dari norma yang ada. Pendidikan karakter yang
diberikan kepada generasi Z di tengah dinamika perubahan lingkungan sosial yang
masif saat ini dihadapkan pada banyak permasalahan.
Pada proses pembelajaran, jika nilai-nilai karakter positif seperti
jujur, kerja keras, dan ikhlas sebagai nilai dasar yang harus dimiliki oleh
setiap peserta didik sudah diimplementasikan ke dalam kehidupan yang bersifat
vertical-horisontal (hablumminallah-hablumminannas) maka hal tersebut
akan mengantarkan peserta didik pada wilayah Insan Kamil. Insan Kamil
tidak hanya sebatas pada kesempurnaan manusia sebagai makhluk yang dianugerahi
akal oleh Allah SWT, melainkan lebih daripada itu. Insan Kamil merupakan
manusia yang mampu mensinergiskan antara akal dan hatinya serta mampu
memfungsikan hati sebagai media untuk berdzikir menuju kerendahan hati. Oleh
karena itu, kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan dalam menjalani kehidupan.
Jika salah satu dilepaskan, maka akan terjadi kepincangan yang berakibat pada ketidakseimbangan.
Dari penjabaran artikel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dekadensi
moral merupakan penyimpangan sosial yang marak terjadi pada generasi muda saat
ini yang disebabkan oleh berbagai faktor mulai dari pengaruh lingkungan, keluarga,
atau sosial media. Pengaruh dari ketiga faktor tersebut, yang paling banyak
didominasi oleh faktor sosial media karena ketidakbijakan pengguna dalam
memanfaatkannya yang kini menjadi sebuah problematika baru. Permasalahan
dekadensi moral dapat diminimalisir dengan pendidikan karakter dan juga
penanaman keimanan sejak dini sebagai salah satu upaya untuk menuntun peserta
didik merenda kesuksesan dalam bingkai hablumminallah dan
hablumminannas di tengah pergolakan peradaban.
DAFTAR PUSTAKA
Alsuci, E.
M., Trinugraha, Y. H., & Rahman, A. (2021). Peran Solo Bersimfoni dalam
Mengimplentasikan Pendidikan Karakter Generasi Z di Kota Surakarta. Jurnal
Pendidikan Karakter, 12(2), 197-208.
Arribathi,
A. H., Supriyanti, D., Astriyani, E., & Rizky, A. (2021). Peran
Teknologi Informasi Dalam Pendidikan Agama Islam Untuk Menghadapi Tantangan Di
Era Global Dan Generasi Z. Alphabet Jurnal Wawasan Agama Risalah
Islamiah, Teknologi Dan Sosial, 1(1), 55-64.
Fitriyani,
P. (2018). Pendidikan karakter bagi generasi Z. Prosiding Konferensi
Nasional Ke-7 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah
Aisyiyah (APPPTMA). Jakarta, 23-25.
Jauhari, M. I., Yusuf, M., Kholifah, Y. B., Bahroyni, S.,
Taufiqurrohman, A., Hartanto, S., ... & Laraswati, B. S. (2021). Bunga
Rampai Pergulatan Pemikiran Akademisi: Dari Teoritis Sampai Praktis Para Dosen
Stai-Ma’arif Kendal Ngawi. Academia Publication.
Herlambang, Y.
T. Menanggulangi Dekadensi Moral Generasi Z Akibat Media Sosial Melalui
Pendekatan Living Values Education (LVE). PEMBELAJAR: Jurnal Ilmu
Pendidikan, Keguruan, dan Pembelajaran, 5(2), 150-158.
Mar’ah, F.,
& Ningsih, D. T. (2021). Konsep Pendidik dan Peserta Didik Dalam
Paradigma Profetik. Jurnal Geneologi PAI, (1).
Muzayaroh,
A. (2021). Konsep Dan Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural Dan Relevansinya dengan
Tujuan Pendidikan Islam.
Rahmatia,
S. R. D. (2022). Konsep Pendidikan Humanisme Dalam Pengembangan Pendidikan
Islam. Jurnal Pendidikan Ar-Rasyid, 7(1), 1-9.
Sofwan Jamil, M. P. I. (2018). Nilai Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Al-Quran.
Komentar
Posting Komentar