Dilema Nilai rapot

Oleh : Milla Efendy

Hari ini, baik SD maupun SMP membagikan hasil belajar berupa rapot. Ada yang online dikirim dalam bentuk pdf ada juga yang sudah bentuk rapot diambil di sekolah. Yang jadi permasalahan bukan rapotnya dibagi online atau langsung. Tapi hasil nilai selama satu semester yang ramai diperbincangkan orang tua maupun wali murid. Sebagian masih bertanya-tanya peringkat anak di kelas. Padahal untuk kurikulum yang sekarang sudah tidak berlaku lagi yang namanya peringkat.

Orang tua masih menganggap kepandaian anak-anak dilihat dari peringkat. Memang diakui, anak yang pandai pasti nilainya akan lebih bagus dibanding dengan yang lain. Dengan mendapatkan peringkat pertama, menunjukkan anak paling pandai di kelasnya.

Dengan pembelajaran daring, sebenarnya ada beberapa permasalahan yang dihadapi para guru. Saat pembelajaran dengan tatap muka, guru pasti akan mengetahui tingkat kepandaian siswa. Antara siswa yang disiplin dan malas pun akan langsung bisa diamati. Keaktifan siswa selama pembelajaran menjadi nilai tambahan saat membuat nilai.

Pembelajaran yang menggunakan aplikasi teams seringkali menghadapi kendala siswa tidak mengunggah tugas yang diberikan. Disuruh absen saja tidak ada 75 persen yang bisa merespon hadir. Bagaimana mungkin guru akan mengetahui kondisi siswa.

Menggunakan vicon juga tidak mudah, sebagian siswa yang tinggal di daerah pegunungan seringkali terhambat signal. Sebenarnya merasa bingung juga, di daerah pegunungan seharusnya lebih bagus signalnya. Tapi tidak bisa dipaksakan ke siswa kalau alasannya tidak ikut vicon karena signal yang tidak bagus atau kuota yang terbatas.

Saat pembuatan nilai rapot, mungkin hampir semua guru menghadapi salah satu siswanya yang tidak mengunggah tugas, tidak ikut penilaian harian, PTS, maupun PAS. Berbagai usaha dilakukan, dari menghubungi siswa via WA, SMS, dan juga telepon. Menghubungi teman-temannya untuk disampaikan, dan minta bantuan wali kelas untuk menghubunginya. Menghilangkan kesan yang butuh nilai itu sebenarnya siswa bukan gurunya.

Permasalahan yang sepele tapi sangat merepotkan. Kenapa? Nilai rapot yang menggunakan aplikasi jelas butuh waktu untuk membuka laptop, aplikasi juga lumayan lama muter-muternya, dan harus memasukkan nilai satu per satu. Kalau di kelas yang sama mungkin guru gak ngedumel. Kalau beda kelas berarti harus sabar membuka aplikasi kelas satunya lagi. Kemudian mengirimkannya lagi ke wali kelas.

Pandai tidaknya siswa tidak bisa guru ketahui. Guru hanya mengandalkan tugas yang diunggah, penilaian harian yang dikerjakan, PTS dan PAS yang diikuti. Guru tutup mata, entah siapa yang mengerjakan di sana. Yang penting ada bukti fisik sebagai dasar pembuatan nilai. Nilai rapot yang harus di atas nilai ketuntasan belajar.

Bumiayu, 19 Desember 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Karakter di SMA N 1 Paguyangan Kabupaten Brebes

SMAN 1 Paguyangan Meraih Juara 3 Lomba Best Practice Inovasi Sekolah Tingkat Provinsi Jawa Tengah

Sepenggal Kisah Kopdar RVL 1