Ramadhan di Masa Kecil
Oleh : Milati Masruroh
Bulan suci ramadhan, bulan yang istimewa. Bulan yang penuh ampunan. Begitu istimewanya bulan ini, ada kebahagiaan tersendiri bagi anak-anak untuk menyambutnya. Semasa kecil, bulan ramadhan disebut bulan puasa. Masjid dan mushola akan penuh dengan para jamaah. Untuk melaksanakan sholat tarawih, tadarus, sholat subuh, dan juga kuliah subuh.
Ada keunikan sendiri suasana ramadhan di pedesaan. Pada malam pertama bulan ini, warga yang berjamaah untuk sholat tarawih membawa ketupat, gorengan, dan juga jajanan tradisional lainnya. Setelah selesai, maka para jamaah akan makan bersama-sama jajan yang dihidangkan.
Pada malam berikutnya, meskipun semua sudah berbuka puasa, tapi ada kebiasaan makan-makan setelah sholat tarawih. Dengan bergiliran, warga-warga dijatah untuk membawa jajan ala kadarnya. Menjelang sepuluh hari menuju hari raya gantian membawa nasi dan juga lauk pauknya.
Tarawih yang hanya satu tahun sekali benar-benar luar biasa. Orang-orang yang usil biasanya tarawih itu memang lebih banyak becandanya. Jangan dibandingkan dengan sekarang. Anak-anak ramai saja langsung kena marah dan disuruh keluar.
Rajinnya anak-anak juga karena ada tuntutan harus mengisi buku ramadhan yang dari sekolah. Begitu sholat tarawih selesai, anak-anak akan berhamburan minta tanda tangan sang imam.
Yang bikin lucu lagi, kalau berjamaah tarawih lihat imamnya. Kalau lama sudah pasti akan pindah ke masjid lain yang imamnya lebih cepat. Kebetulan untuk imam biasanya digilir. Setiap sepuluh hari akan mengimami jamaah di masjid yang lain.
Kuliah subuh pun sama, berlomba-lomba mengikuti kuliah subuh. Entah apa materi yang disampaikan itu tidak penting, yang penting mendapatkan tanda tangan dari sang penceramah. Hanya satu atau dua anak yang mau mendengarkan ceramah.
Menjelang maghrib tiba untuk berbuka puasa, sudah dipastikan akan jalan-jalan mencari sore. Istilah sekarang namanya ngabuburit. Sirine yang menandakan waktu berbuka pastilah belum ada, karena listrik belum ada waktu itu. Jadi hanya mengandalkan dentuman meriam yang jaraknya sekitar tujuh km dari desa. Begitu dentuman bunyi, suasana begitu sorak sorai. Semua anak-anak berhamburan pulang ke rumah untuk berbuka.
Masa kecilku yang sederhana tapi begitu membekas suasana bulan puasanya. Seandainya waktu berputar kembali, ingin rasanya kembali ke masa kecilku
Bumiayu, 1 Mei 2020
Komentar
Posting Komentar