Minder
Oleh : Milati Masruroh
Dia adalah seorang perempuan. Anak kedua dari tiga bersaudara. Dia hanya gadis desa yang parasnya lugu dan tidak cantik. Dia asli keturunan orang jawa. Kedua orang tuanya selalu menerapkan hidup dalam kesederhanaan.
Sebagai anak kedua, dia tidak seberuntung kakak perempuannya. Yang selalu dibelikan baju baru dan dituruti apa keinginannya. Dia harus nerima baju lungsuran meski warnanya sudah agak kusam.
Belum ada teknologi yang canggih kala itu. Hanya TV hitam putih yang bisa dilihat seminggu dua kali, karena waktu itu belum ada listrik dan masih menggunakan aki. Lampu patromaks juga masih dipakai sebagai alat penerang di kala malam hari sampai jam sembilan.
Dia tidak mengenyam pendidikan sekolah di TK, karena waktu itu TK hanya ada di daerah perkotaan. Dan hanya orang-orang mampu saja yang menyekolahkannya di TK. Sehingga dia langsung mendaftar di Sekolah Dasar.
Setelah lulus SD, dia melanjutkan ke SMP di tengah kota. Kota kecil tidak sebesar kota jakarta. Jarak lumayan jauh dari jalan utama, memaksa dia untuk berangkat jalan kaki dan melanjutkan dengan naik elf. Sekarang banyak yang bilang bis mikro. Panas, hujan, tak dihiraukan demi menuntut ilmu.
Kesan perempuan desa yang lugu membuat dia tersisih di antara teman-temannya. Teman-teman dari keluarga kaya yang cantik, pintar, dan energik. Diam dan selalu diam, malu dan minder selalu menggelayuti pikirannya.
Bagaimana mau nyambung cerita dengan teman-temannya, sedangkan dia tidak tahu apa itu majalah anita, majalah aneka, yang kala itu menjadi trendnya anak muda. Boro-boro tahu lagunya mariah carey, boyband-boyband luar negeri yang mereka idamkan, sedang nonton TV pake parabola saja tidak pernah.
Selepas SMP, dia lanjut ke SMA yang masih berada dekat dengan SMP. Minder itu perlahan-lahan mereda seiring semangatnya untuk belajar. Dia tidak mempedulikan lagi teman-temannya yang bergaya high class. Masa depan akan dia raih sendiri, bukan orang lain. Belajar dan terus belajar untuk mengejar ketertinggalannya dengan teman-teman lain yang pintar.
Teman-teman yang high class memang dipandang lebih sama guru-guru waktu itu. Karena kecantikannya, dan juga karena penampilannya yang lebih menarik. Apalah yang mau dilihat dari gadis desa yang lugu dan tak cantik pula.
Didikan kedua orang tuanya yang keras dan disiplin, membuat dia menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan disiplin. Keinginan demi keinginan yang tidak dituruti membuat dia lebih mandiri.
Ketidakpercayaan diri dan minder yang selalu menguasainya membuat dia juga menjadi pribadi yang lemah. Yang tidak punya kekuatan saat berada di lingkungan orang lain. Ketakutan dibully selalu menghantuinya.
Dia perempuan biasa yang punya perasaan lemah. Tapi dia selalu semangat untuk selalu belajar. Karena tidak ada yang bisa dia banggakan di hadapan orang lain. Merasa tidak pandai dan juga tidak cantik .
Terkadang dia menyesali dirinya sendiri dan menangis sejadi-jadinya. Kenapa Tuhan tidak adil? Kenapa Tuhan membuat dia terpojok dan terkucil di antara temannya?
Itulah yang dia rasakan, tapi perlahan-lahan dia merasakan Tuhan begitu dekat dengan dia. Selalu menghadirkan orang-orang pandai di sisinya, yang membuatnya lebih dihargai dan diorangkan. Yang membuat dia lupa kalau keluguan dan kejelekannya akan menghambat dia untuk maju. Untuk membuktikan dengan teman-temannya dulu yang cenderung memandang sebelah mata, bahwa perempuan desa yang lugu dan tidak cantik itu tidak selalu bisa direndahkan, tapi dihargai keberadaannya.
Bumiayu, 28 April 2020
Komentar
Posting Komentar