Kesederhanaan

Oleh : Milati Masruroh

Sejak dari kecil, sudah terbiasa dalam kesederhanaan. Tidak pernah menuntut apa-apa sama kedua orang tuanya. Dia sadar, orang tuanya tidak cukup uang untuk membelikan yang lain selain untuk beli beras dan lauk yang apa adanya.

Dia anak ke empat dari tujuh bersaudara. Tidak pernah muluk-muluk keinginannya. Dia rela menyisihkan uang jajan hanya untuk bisa membeli sepatu yang baru. Meskipun sebenarnya dia tidak malu memakai sepatu yang sudah berlubang di bagian depannya.

Bapaknya hanya buruh serabutan dan maknya hanya penjual tempe di pasar. Setiap hari sudah terbiasa menyiapkan sarapan sendiri. Pagi buta mak sudah berangkat ke pasar untuk menjual tempe. Sedang sang bapak juga sudah berangkat kerja.

Masa kecilnya begitu mengharukan. Tidak seperti teman sebayanya yang asyik bermain dengan mainan-mainan bagus dan mahal. Dia menyadari tidak ingin menambah beban berat kedua orang tuanya.

Enam tahun mengenyam pendidikan di MI dan kemudian melanjutkan ke MTs. Setiap pagi mengayuh sepeda untuk menuju ke sekolah. Begitu lulus MTs, dia lanjut ke SMK. Jarak yang lumayan jauh. Satu jam setiap paginya dia mengayuh sepeda menuju ke SMK. Makanya setiap kali pelajaran, kantuk tak dapat tertahankan.

Keadaan orang tua yang harus menghidupi enam saudaranya memang lumayan berat dengan penghasilan yang pas-pasan. Dia pun selalu berusaha membantu orang tuanya dengan berjualan kerupuk. Jam lima sore, dia membeli krupuk mentah. Kemudian dia bawa ke tempat penggorengan. Setelah selesai digoreng, dia ambil dan dibawa ke rumah. Jam delapan, dia pun sibuk bungkus krupuk untuk dijual besok pagi jam lima.

Keliling kampung untuk menjajakan krupuk. Dia pikir lumayan untuk menambah uang sakunya yang hanya cukup untuk naik bis. Dia termasuk orang yang semangat hidupnya tinggi. Dia ingin masa depannya lebih baik.

Meskipun harus mengayuh sepeda selama satu jam, dia selalu semangat untuk meraih prestasi. Sehingga nilai matematika pun diraih dengan nilai sempurna.

Menyadari betul keadaan orang tuanya, tidak membuatnya patah semangat untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Dia terus belajar untuk bisa masuk ke perguruan tinggi negeri.

Usahanya tidak sia-sia, dia berhasil masuk ke PTN jurusan teknik mesin fakultas teknik. Dia tidak kepikiran kalau orang tuanya itu akan mendukung ataukah sebaliknya.

Registrasi masuk PTN pun tiba, dia bingung dan kacau pikirannya saat itu. Mau diambil ataukah harus mundur. Begitu banyak teman-temannya yang ingin melanjutkan dan gagal masuk PTN.

Dengan percaya diri, dia pun berangkat menuju kampus untuk meminta keringanan waktu pembayaran. Tidak berhenti sampai situ kebingungannya. Saat kuliah nanti tiba, pasti dia harus ngekost. Entah harus gimana lagi untuk minta ke orang tuanya.

Dia berpikir keras agar bisa kuliah tanpa harus ngekost. Ya pilihannya menjadi takmir masjid. Dengan membersihkan masjid dan menjadi muadzin saat waktu sholat tiba. Cukup membantu meskipun menempati kamar yang tidak begitu luas. 

Kesederhanaannya memang sudah menjadi bawaannya. Saat gelar sarjana diraihnya pun, dia sudah bekerja di industri bonafit di pulau sumatera. Kerja kerasnya terbayarkan.

Panggilan jiwanya untuk kembali ke tanah kelahiran memaksa dia untuk berhenti dari industri itu. Dia pun memilih mengabdi untuk anak negeri untuk  mencerdaskan anak bangsa.

Bumiayu, 29 April 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IHT Pengembangan Modul Ajar yang Mengintegrasikan Visi Misi Sekolah

IHT Pelatihan Koding dan Kecerdasan Artificial Bagi Guru di SMA N 1 Paguyangan

Pembelajaran Daring Yang Efektif