Guru Yang Dirindu

Oleh : Milati Masruroh

Menjadi seorang guru memang sudah ditanamkan sejak sekolah di SD. Karena terlahir dari orang tua yang kedua-duanya berprofesi sebagai guru SD. Selalu mendapatkan pelajaran hidup sederhana dan juga kedisiplinan yang selalu ditanamkan. Sebagai anak perempuan pastilah akan manut apa yang diharapkan oleh orang tua. Orang tua beranggapan, jadi seorang guru itu ada banyak waktu buat keluarga. Siswa libur, maka guru pun akan libur. Pemikiran orang tua tahun 90an. Tak perlu jadi seorang perawat,  nanti malam-malam harus jaga di puskesmas atau di rumah sakit. Tak perlu jadi polisi, nanti pas lebaran mau ijin saja tidak boleh. Tak perlu jadi pilot atau masinis, pas lebaran juga gak bisa pulang. Apalagi tentara, mau ketemu aja harus nyebrang pulau dulu. Yah, itulah anggapan orang tua dulu. Anak perempuan itu jadilah guru, biar hidupnya ayem, tenang, dan anak-anak terurus.

Hidup di lingkungan guru, yang ada di angan-angan waktu itu pasti menjadi guru. Meskipun anggapan teman-teman, menjadi seorang guru itu bukan sesuatu yang bergengsi dan bisa dibanggakan tapi pasti akan dikucilkan. Karena kesan lugu dan sederhana sangat melekat sebagai calon guru. Memang diakui, kuliah jurusan pendidikan itu hanya dipandang sebelah mata. Apalagi bagi orang-orang yang mengambil jurusan murni yang bonafit-bonafit. Di mata orang jadi seorang insinyur itu menjadi satu kebanggaan yang tak ada tandingannya.

Menjadi pendidik memang tidak mudah. Menghadapi sekian puluh siswa dalam satu kelas dengan karakter yang berbeda dan harus mampu menguasai kelas. Apalagi menghadapi siswa-siswa yang merasa dirinya sudah dewasa tapi pada faktanya sering menunjukkan sifat kekanak-kanakan.  Menjadi seorang guru, pastilah menginginkan siswanya bisa memahami materi sehingga nilai ulangannya bagus. Tak jarang seorang guru sampai tidak bisa mengendalikan emosi saat menghadapi  siswa-siswa yang tidak bisa mengikuti. Wajar hal itu terjadi, apalagi seorang guru yang baru lulus menempuh S 1. Kesan idealis masih sangat melekat, masih berharap bisa menjadi guru yang sempurna. Guru yang mampu mengubah pola pikir siswa, guru yang mampu melatih siswa untuk mendapatkan nilai di atas KKM.

Proses pendewasaan itu sangat penting , apalagi untuk memahami karakter siswa. Guru pun pasti punya karakter yang berbeda-beda. Ada guru yang paham karakter masing-masing siswa,  paham kemampuan siswa, paham kebiasaan siswa di kelas, tapi ada juga guru yang nama siswa pun tidak tahu apalagi hafal nama-nama siswa. Itu memang kelihatan sepele.  Mengajar 3 jam pelajaran dalam satu waktu, tidak terpecah-pecah menjadi 2 jam pelajaran dan 1 jam pelajaran, pasti akan menimbulkan kejenuhan pada siswa jika hanya ceramah di depan siswa.  Apalagi mengajar  5 jam pelajaran sekaligus dalam satu waktu. Di SMK mata pelajaran produktif biasanya dijadikan dalam satu waktu. Karena pasti ada praktek yang dilakukan di bengkel.  Guru tentunya harus memutar otak. Biar pelajaran tidak membosankan, yang ujung-ujungnya siswa ngantuk dan tertidur di kelas.

Mengajar siswa SMK pasti beda dengan mengajar siswa SMA. Siswa SMA cenderung tertib di kelas, rajin membawa buku, dan yang pasti siswanya tipe-tipe pemikir. Beda dengan siswa SMK,  yang kompetensi keahliannya teknik. Siswa akan lebih banyak mendapatkan pelajaran produktif yang harus praktek di bengkel dalam waktu 5 sampai 8 jam pelajaran sehari.  Bukan hal yang aneh lagi, saat siswa mengikuti pelajaran normatif adaptif akan cenderung  menyepelekan. Apalagi menghadapi siswa  SMK yang berlatar belakang dari keluarga broken home biasanya sedikit ada perhatian khusus. Karena cenderung mencari perhatian guru dengan cara-cara yang kadang memancing emosi para guru. Dari yang ramai di kelas, tidak mengumpulkan tugas, terlambat masuk kelas, bahkan tertidur di kelas. 

Menjadi   guru yang baik pasti akan semakin bijak dalam menghadapi siswa. Pasti akan berpikir kalau siswa itu butuh perhatian, butuh bimbingan dan juga jalan keluar saat punya masalah, bukan mendapatkan hukuman atau sanksi  yang justru mempermalukan di hadapan teman-temannya. Tidak perlu waktu lama untuk mendengarkan keluh kesah siswa. Cukup didengarkan siswa sudah bahagia. Sambil keliling sesekali mengecek latihan atau tugasnya siswa dan duduk di dekatnya.  Toh tidak mungkin 3 sampai 5  jam pelajaran itu dipergunakan untuk ceramah terus.  Tidak salah kalau seorang guru memposisikan sebagai teman,  selagi siswa masih bisa menjaga jarak dan menghormati serta menghargai  seorang guru. Pasti menjadi sebuah impian bisa menjadi guru yang selalu dirindu kedatangannya. 

Bumiayu, 16 April 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IHT Pengembangan Modul Ajar yang Mengintegrasikan Visi Misi Sekolah

IHT Pelatihan Koding dan Kecerdasan Artificial Bagi Guru di SMA N 1 Paguyangan

Pembelajaran Daring Yang Efektif