Cerita Di Balik Finger Print
Oleh : Milati Masruroh
Aturan itu untuk ditaati bukan untuk dilanggar. Kalau terpaksa melanggar berarti harus siap menerima sanksi. Sanksi yang tegas dan tidak bisa ditoleransi lagi. Seperti untuk finger print bagi ASN di dinas pendidikan yang selalu punya cerita. Untuk yang kesekian kalinya harus update versi terbaru. Sebenarnya bukan hal yang baru lagi, maksudnya sudah dua tahunan diberlakukan dan aksesnya langsung ke BKD Propinsi.
Adanya finger print ini juga menuntut para ASN untuk mengganti handphone jadulnya dengan handphone baru. Bukan karena kurang bagus, tapi memory yang sering penuh dan harus rajin membersihkan file-file yang tidak penting.
Handphone Android baru dengan memory yang besar. Yang penting untuk finger print diberi kelancaran, tidak dibuat pusing tujuh keliling karena tidak connect juga dengan link BKD. Bayangkan saja, jam enam pagi sudah finger print tapi sampai jam tujuh belum juga berhasil. Mau pinjam handphone guru lain, sudah pasti gak enak.
Finger print versi 26 ini sebagian ASN merasa lega. Bagaimana tidak lega, saat WFH yang biasanya lupa finger print pagi maupun sore seperti saat WFO, hanya finger print sekali saja. Banyak yang merasa santai saat WFH ini lupa untuk finger print. Ternyata, meskipun hanya sekali jika lupa untuk finger print maka dianggap alpa. Dan itu dianggap 7,5 jam, artinya satu hari alpa.
Dengan alasan apapun, dari signal yang tidak bersahabat atau jaringan susah tidak mempengaruhi finger print. Kalau lupa berarti alpa. Kalau 3 hari alpa berarti harus siap menerima resiko dari BKD. Sanksinya apa, hanya guru-guru yang mengalaminya yang tahu. Yang tidak pernah alpa hanya tahu dari bahasa katanya. Orang Jawa bilang tembung "jere atau jare". Kalau sudah seperti itu, biasanya kalimatnya akan ditambah atau dikurangi.
Finger print selalu ada saja ceritanya. Tinggal masing-masing individu bagaimana cara menyikapinya. Mau mematuhi aturan atau mencoba melanggar aturan. Namanya mencoba, berarti untuk membuktikan benar tidaknya sanksi yang diberikan.
Bumiayu, 21 Oktober 2020
Komentar
Posting Komentar